Kamis, 15 Februari 2018

CERPEN BIASA

ADA YANG HILANG

            Bus jurusan Bandung– Jogja turun di terminal Jogjakarta. Senja di ufuk barat telah menenggelamkan matahari dan samar-samar langit mulai berwarna hitam. Adzan maghrib sudah berkumandang. Perjalanan memakan waktu lima setengah jam dari kota Purwokerto. Diana turun dari bus. Dia melihat ke kanan dan ke kiri. Kemana tujuan dia harus pergi? Yang dia pegang hanyalah satu lembar alamat. Dia belum pernah ke Jogja sebelumnya, hanya tau bahwa rumah Mbah di dekat Malioboro. Bahkan saat sekolahnya mengadakan liburan kelulusan SMA ke Jogja, dia tidak ikut. Gadis yang biasa disapa Anna hanya berdiri diam bersandar di dinding dekat toilet di terminal. Matanya memandang lurus ke orang-orang yang turun dari bus, sepertinya mereka sudah punya tujuan masing-masing. Anna mendesah.

            “Bahkan aku tidak tahu arah. Dimana ada masjid? Mana arah barat, mana arah timur? Benar kata eyang, tidak seharusnya aku nekad pergi ke tempat ini,” katanya dalam hati menyesali sifat tidak sabarannya.

            “Mbak? Mbak mau kemana?” seseorang laki-laki tua bertanya pada Anna. Anna menoleh laki-laki tua itu, dia tersenyum lalu menggelengkan kepalanya. Laki-laki itu pun pergi meninggalkan Anna dengan senyuman ramahnya. Anna gelisah, waktu maghrib tidak lama lagi habis.

            “Kek, maaf,” Anna memanggil laki-laki tua itu kembali. Anna mendekati laki-laki tua itu setelah laki-laki tua itu berhenti dan menoleh ke arah Anna.

            “Saya sedang mencari Masjid, Kek,” ucap Anna kemudian.

            “Kalau begitu mari ikut taxi saya saja,” ajak laki-laki tua itu ramah

            Anna mengingat kalau harga naik taxi lumayan mahal. Dia di Jogja mungkin tidak hanya satu atau dua hari saja. Uang yang sudah dia simpan dalam waktu satu tahun ini tidak seharusnya dia gunakan dengan sembarangan. Anna nyengir kuda mengetahui kalau bapak tua ini adalah supir taxi. Sekarang, dia bingung bagaimana menolaknya.

            “Kenapa lagi mbak?” tanya laki-laki tua itu melihat Anna hanya diam seperti orang kebingungan. Anna sekarang tersenyum lebar hampir melihatkan seluruh gigi depannya.

            “Kakek kasih tahu aja arahnya. Maaf saya sedang berhemat Kek,” lanjut Anna menunduk malu.

            Laki-laki tua yang bisa disapa kakek itu kemudian tersenyum lalu tawanya sedikit keluar. Dia tahu maksud gadis manis itu. Anna masih terus menunduk menahan rasa malunya. Sementara laki-laki itu berjalan meninggalkan Anna menuju taxinya. Anna mengangkat kepalanya sedikit. Dia melihat laki-laki tua itu pergi meninggalkannya. Gadis itu kembali mendesah. Semua diluar perkiraannya. Dia pikir pergi ke Jogja pasti akan sama dengan masuk ke sekolah baru. Hanya perlu menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dan bersikap ramah. Tapi kenyataanya tidak seperti itu. Ia kembali menyesali perbuatannya.

            “Hey mbak, ayo! Nanti kita ketinggalan sholat maghrib,” ujar laki-laki tua itu dari dalam taxinya. Anna masih terbengong di tempat tadi.

            “Gratis,” lanjutnya tersenyum hangat.

***

“Asalamualaikum. Bapak pulang Bu,” salam laki-laki tua itu sambal mengetuk pintu. “Waalaikumsalam,” terdengar suara seorang wanita yang lembut dari dalam rumah yang sederhana itu. Tidak lama seorang wanita tua membukakan pintu. Wajahnya terlihat semringah menyambut suaminya pulang kerja.

            “Bu, kenalkan ini Anna. Tamu kita,” lanjut laki-laki tua itu memperkenalkan Anna pada istrinya. Istrinya tersenyum hangat menyambut Anna. Anna pun menyalami istri laki-laki tua itu. Anna bahkan lupa tidak menanyakan siapa nama kakek tua yang sudah menolongnya sejauh ini. Mereka sama sekali belum kenalan. Mereka bertiga masuk ke dalam rumah. Anna duduk di sofa yang sudah terlihat sangat tua. Istri kakek itu masuk ke dalam sedangkan kakek tadi masuk ke kamar. Anna melihat-lihat isi ruang tamu. Terdapat lukisan sosok anak kecil sedang berlari dengan membawa boneka. Ia teringat dengan adiknya sewaktu kecil. Anna bangkit dari duduknya untuk melihat foto dan lukisan itu.

            “Itu putri Kakek,” Kakek itu mengejutkan Anna. Anna kemudian duduk lagi ke sofa. Istri kakek tua itu sudah kembali dan membawa dua gelas teh hangat.

            “Engga usah repot-repot, Bu. Maaf ya Kek, Anna jadi merepotkan seperti ini,” ucap Anna menundukan kepalanya.

            “Jadi nama kamu Anna?” tanya kakek tua itu. Anna menganguk.

            “Kakek lupa tidak mengajakmu kenalan sejak tadi. Nama Kakek Abdul Rahman. Dan Istri Kakek Siti Honimah,” lanjut kakek iu memperkenalkan diri dan juga istrinya. Mereka langsung akrab seketika. Banyak yang mereka bicarakan dari kuliah Anna di Bandung, keramaian di Bandung, dan masih banyak lagi. Sedangkan Kakek dan Istrinya menceritakan putrinya yang sedang sekolah di Bandung.

“Sudah lama kami tidak bertemu dengannya. Sejak dia semester 5 6 sudah jarang berhubungan dengan kakek. Apalagi sekarang sudah menjelang skripsi, dia sangat sibuk. Tapi kami selalu mendoakan agar dia diberi kesehatan dan umur panjang,” ujar istri Kakek Rohman bercerita. Kakek Roman yang tadinya penuh senyuman kini wajahnya datar. Palah dia izin pergi ke luar saat istrinya bercerita tentang putrinya. Anna mengerti keadaan itu. Tapi saat Nek Honimah bercerita, tidak Anna yang bisa Anna lakukan kecuali menjadi pendengar yang baik.

“Memang harapan orang tua pasti ingin anaknya sukses, tapi kesuksesannya membuat kami menjadi kesepian.” lanjut Nek Honimah masih bercerita.

“Ngomong-ngomong, kamu ke Jogja ketemu siapa? Kok maghrib-maghrib kaya orang ilang, hehehe.” Tanya Nek Honimah.

“Anu Nek, saya dari Bandung mau ke rumah Mbah yang ada di Jogja tapi dari tadi saya mencari telpon umum disekitar jalan kok gak ada. Eh, tiba-tiba ketemu sama si Kakek” jawabku sambi senyum-senyum tidak jelas.

“Walah, emang mba. Sudah jarang disini telfon umum, ditelfon aja mba lewat hape. Emange Rumah mbahnya disekitar mana?” lanjut nek Honimah.

“Hemm,, saya gak punya hape nek. Kalo rumah mbah sendiri sih di dekatnya Malioboro, tapi lupa di sekitar mana soalnya sudah lama banget gak kesini.” Jawabku santai.

“Wong Kota ra ngerti hape. Hehehehe” canda nek Honimah. Anna pun sontak menjawabnya dengan gelengan karena ia sedikit paham Bahasa Jawa.

Pembicaraan seolah hening, dan hanya kerdengung suara jangkrik malam yang selau mengiringi bunyi pedesaan.

“Sudah malam Nduk, kamu pasti cape. Sini, kamu harus istirahat,” ucap Nenek itu mengajak Anna menuju sebuah kamar. Setelah sampai di depan pintu kamar, nenek iu membukanya.

            “Ini kamar anak Nenek dulu. Sudah idak pernah dipakai. Tapi kamu tidak usah khawatir, kamar ini bersih soalnya nenek membersihkannya setiap hari,” lanjut nenek itu masuk dan duduk di tempat tidur kamar itu. Anna hanya mengangguk-angguk sambil matanya melihat ke seluruh ruangan kamar itu.

            “Selamat istirahat ya Nduk,” ucap Nenek Honimah kemudian keluar dari kamar. Anna duduk di tempat tidur dan meletakkan tasnya. Badannya pegal-pegal karena perjalanan jauh. Tapi waktu Isya belum datang dan dia belum mandi.

            “Nek, saya mau mandi dulu. Hehe,”

***

Sreek,,sreek!! Suara gesekan sepatu yang terlihat seperti malas berjalan. Anni, saudara Anna yang mencarinya di sekitar jalan Malioboro. Tak satupun wanita yang sedikit mirip denganku terihat dalam keramaian sana. Jam yang sudah menunjukan pukul sembilan malam, tak kunjung datangnya kabar dari Anna. Anni membuka handphone.

“Assalamualikum Mbah, si Anna ra ono ning dalan Malioboro. Wis muter-muter, tak golei, tak takok supir taksi jere ra ndeleng (Assalamualikum mbah, Anna gak ada di sepanjang jalan Malioboro. Aku udah muter-muter, tak cariin, tak tanya supir taksi katanya gak liat)” kata Anni yang terlihat bingung dan lelah.

“Ya Allah Gusti, putuku nang ndi yo? Mbarang ra tau ming Jogja, ya ora ngerti daerah Jogja koyo ngopo. Yowis koe bali bae” (Ya Allah, cucuku dimana ya? Dia gak pernah ke Jogja, mana tau daerah Jogja kaya gimana. Yaudah, kamu pulang aja). Jawab Si Mbah dengan penuh gelisah.

Seiring perjalanan pulang, Anni meihat handphone dan mencari kontak yang Anna miliki. Tetapi ia sadar, bahwa percuma saja menghubungi Anna yang tidak tau keberadaannya dimana. Karena semenjak tiga tahun silam semua akses jaringan dia stop. Tiga tahun silam tepat kelulusan Anna di SMP, adik semata wayangnya meninggal karena tertabrak mobil saat menyebrangi jalan. Saat itu Sanna ingin menyebrang jalan dan sedang membalas chatnya dengan Anna. Hal itu membuat orang tuanya sadar, bahwa segala sesuatu yang berbau dengan teknologi sudah menghancurkan anak kedua yang masih berumur 10 tahun. Teramat sangat dengan tepukulnya hal itu, membuat orang tua Anna kukuh, agar tak ada lagi yang menggunakan gadget dan menggantinya dengan telfon rumah apabila ada kepentingan. Dan sekarang, Anna yang tak tau dimana, tambah susah dicari karena tidak ada yang menghubungkan dengannya kecuali sebuah gadget.

“Assalamualaikum Mbah..” Salam yang terdengar malas. Dan sontak si Mbah menjawabnya.

Hari semakin malam dan Mbah menyarankan besok melaporkan ke pihak terminal atau polisi setempat. Anni beranjak pergi ke kamar dan lekas tidur, sedangkan si Mbah sedang sibuk menanyai tetangga, teman kerabatnya dan grup yang beliau punya menggunakan Whatsapp. Ibu Anna sempat menelfon rumah, dan menanyakan apakah Anna sudah berada disana atau belum. Seketika itu si Mbah marah besar kepada Ibu Anna.

“Hape iku selalu didadikno pacuan pertama ning wong-wong. Anna ra ngerti nang ndi siki, gara-gara ra ono komunikasi sing menghubungna Anna. Saiki sopo sing salah? Apa gara-gara matine Sanna trus koe ra ngulihno anakmu nggo nyekel hape?. Hape saiki penting ndoook, nang kee ra ono telpon umum, wis jarang telpon umum dihubungna nang kene. Saiki nanggone hape, hape, hape!!!” (Hape itu selalu menjadi pacuan pertama di hidup orang disekarang ini. Anna gak tau sekarang dimana, gara-gara gak ada komunikasi yang menghubungkan dengan si Anna. Sekarang siapa yang salah? Apakah gara-gara meninggalnya Sanna trus kamu gak bolehin anakmu suruh megang hape? Hape itu penting nakk, disini gak ada telfon umum, udah jarang telfon umum dihubungna kesini. Sekarang makainya hape, hape, hape!!) Marah si Mbah.

“Tapi buk, saiki Anna ndi?”jawab Ibu Anna yang mulai cemas.

“Mbooh, urus awakmu nembe urus anakmu” (Gak tau, urus dirimu dulu baru urus anakmu)”Lanjut si Mbah.

Malam yang berganti pagi, kakek Abdul Rahman yang sedang bersiap-siap kerja menawarkan Anna ke Jalan Malioboro.

“Nduk, rumah mbahmu di deket Jalan Malioboro kan? Yo bapak antarkan kesana ya?”tawar kakek.

“ Iya kek, makasih banyak”senyum Anna dengan manis.

“Oiya, kamu hafal nomor mbah kamu tidak?”

“Iya kek, alhamdulillah hafal” jawab Anna semangat. Kakek segera memberikan hapenya kepada Anna dan segera menelfon Mbah.

“Assalamualikum Mbah, iki Anna” Percakapan dengan Mbah tidak berjalan lama, namum cepat dan jelas. Setelah beberapa menit bersiap-siap, Anna dan kakek segera berangkat ke tempat tujuan dan bertemu dengan Mbah.

Tidak ada komentar:

YUKK BELAJAR TOLERANSI

Kalo bicara tentang bagaimana toleransi di Indonesia udah pasti toleransinya bagus banget, secara Indonesia adalah negara dengan berbagai ma...